Setengah Lima Sore

4.30

Mentari menatap arloji di tangan kanannya, waktu menunjukkan pukul 4.30 PM.

Ia membuka pesan singkat yang ia terima 2 jam yang lalu, tertulis “sudah sampai ya kirimannya, terima kasih”. Raut wajahnya sedih menengadah ke langit, sendiri di bangku taman favoritnya. Tatapannya kosong melihat langit yang sudah tidak biru lagi.

“Setengah lima, aku suka setengah lima. Waktu yang menyediakan langit senja tersipu malu”


Terlintas kenangan manis yang ingin dilupakan, masa berwarna dihampiri seorang laki-laki yang menjadi pasangan hidupnya.


Saat itu waktu menunjukkan pukul 5.00 PM, gelisah menunggu sirna dengan kedatangan Natha.

Mentari “kok telat sih?
Natha “maaf, tadi mampir bentar beli ini nih” ia mengeluarkan sebuah kalung dan memakaikannya ke leher Mentari. “nyicil dulu satu-satu, biar ntar pas nikah mas kawinnya udah ada duluan hahaha
Mentari “yeee, makanya kerja yang bener kamu, jangan telat mulu bangun pagi
Natha “yang penting kan kita gak pernah absen ketemu disini

Dua sedjoli yang selalu bertemu di taman dengan bangku yang sama, di waktu yang sama, menikmati senja berdua. Terselip selalu doa yang mereka ucapkan berdua tentang masa depan, indahnya apabila mereka sudah mempunyai momongan, menikmati liburan ke pantai memandang sunset mereka di sudut yang berbeda.

Ingatan Mentari semakin jauh, disaat ia menatap arlojinya pada pukul 5.30 PM.

“hai setengah lima, hai senja. Kalian pasti bingung apa yang sedang terjadi. Sepertinya dia lupa semua doa yang kami ucapkan. Doa dan rahasia yang hanya kalian ketahui”


Mentari “akhir-akhir ini kamu selalu dating ke taman ini terlambat. Apa ada yang menganggumu ? Atau masalah berat di kantor?”
Natha “aku hanya lelah, disini aku sekarang merasa monoton
Mentari “apa maksudmu?
Natha “sepertinya aku ingin pindah. Maaf, aku belum sanggup memenuhi janji. Yakin lah akan ada seseorang yang terbaik dan tulus untukmu, jangan khawatir

Sejak kejadian itu satu tahun akhirnya berlalu. Mentari sudah bekerja di sebuah perusahaan wedding gallery Jakarta. Namun satu hal yang tidak pernah berubah adalah ia tetap mengunjungi taman yang menjadi tempat kenangannya, pada jam yang sama yaitu 4.30 PM.

“Kami memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi, agar memudahkan langkah kami berdua. Logikaku berontak dengan hati, serasa aku tidak akan jatuh cinta lagi. Aku seperti daun kering yang enggan jatuh dari pohonnya.”


Entah apa kesalahan yang pernah ia lakukan, perpisahan pahit harus ia temui lagi dengan kenyataan yang lebih mengejutkan. Ketika sedang bekerja, kantornya kedatangan oleh seorang calon customer yang membutuhkan informasi sebuah gaun dan jas untuk keperluan pernikahan. Ternyata calon customer tersebut adalah Natha.

Natha “bagaimana kabarmu?”
Mentari “baik, kamu sendiri gimana? Sejak kapan kamu kembali ke Jakarta?
Natha “aku juga baik. Aku sudah kembali dari seminggu yang lalu. Aku ingin mempersiapkan pernikahan, bisakah kamu membantuku? Untuk sekarang aku butuh gaun dan jas”
Mentari “kamu sudah mau menikah?
Natha “ya, sekarang aku sudah siap. Calonnya tidak berada disini, nanti akan datang menyusulku. Jadi aku sekarang mempersiapkan dulu semuanya sendiri
Mentari “sungguh beruntung wanitamu

Masih terngiang kalimat yang diucapkan Natha, hingga pesan singkat yang mengharuskan ia untuk mengirimkan kotak berisi gaun tersebut ke alamat mantan kekasihnya. Tatapannya ke langit senja mengingatkan hal manis dan pahit yang telah ia alami.

“Kita berdua selalu setia menemani langit di taman ini, sebelum ia menutup mata. Hingga senja telah berbeda.”


Ketika ia melepaskan pandangannya dari langit, tiba-tiba sesosok laki-laki berada di hadapannya.

Laki-laki tersebut memegangi sebuah kotak yang sangat familiar olehnya. Laki-laki itu mendekatinya, terlihat raut wajah yang masih sama ia dapat dahulu disaat-saat setengah lima indah belum tiada.

Mentari “kenapa kamu ada disini?
Natha “sekarang jam setengah lima. Sudah seharusnya aku disini, mengertilah aku tak akan bisa berdiri tanpamu. Aku minta maaf karena aku pernah lemah dan menyerah. Aku berharap masih belum terlambat untukku memperbaiki semuanya. Kesalahan besar yang kuperbuat adalah mencoba untuk tidak mencintaimu. Ketika kembali ke Jakarta, aku selalu mengunjungi taman ini, pada jam yang sama. Aku tidak berhenti melihatmu dari kejauhan. Berilah aku kesempatan untuk membuat doa kita disini menjadi nyata, izinkan aku untuk tetap bersamamu disini setiap setengah lima selanjutnya. Dan gaun ini, sebenarnya aku persiapkan untukmu, gaun pilihanmu sendiri. Maukah kamu menjadi istriku?
Mentari “Untukmu, aku akan belajar menjadi istri yang baik, menjadi wanita yang hebat. Aku akan memasak, aku akan membersihkan rumah, meletakkan senyuman di wajahmu ketika kamu marah, menjadi semangatmu ketika kamu lelah, dan aku akan memberikan kamu kebahagiaan. Berjanjilah, tetap tuntun aku hingga kita tidak hanya melihat langit, namun dapat menyentuhnya. Aku bersedia menjadi istrimu, calon suamiku


The End

R. Febrinando

0 comments:

Post a Comment